Tatkala Rasulullah mengambil bai’at dari orang-orang Anshar pada perjanjian Aqabah yang kedua, diantara para utusan yang terdiri atas 70 orang itu terdapat seorang anak muda dengan wajah berseri, pandangan menarik dan gigi putih berkilat serta memikat perhatian dengan sikap dan ketenangannya. Dan jika bicara maka orang yang melihat akan tambah terpesona karenanya . . . .!
Nah, itulah dia Mu’adz bin Jabal r.a .
Dan kalau begitu, maka ia adalah seorang tokoh dari kalangan anshar yang ikut bai’at pada perjanjian Aqabah kedua, hingga termasuk Ashshabiqul Awwalun, golongan yang pertama masuk Islam. Dan orang yang lebih dulu masuk Islam dengan keimanan serta keyakinannya seperti dimikian, mustahil tidak akan turut bersama Rasulullah dalam setiap perjuangan. Maka demikianlah halnya Mu’adz .
Tetapi kelebihannya yang paling menonjol dan keitstimewaannnya yang utama ialah fiqih atau keahliannya dalam soal hukum. Keahliannya dalam fiqih dan ilmu pengetahuan ini mencapai taraf yang menyebabkannya berhak menerima pujian dari Rasulullah SAW dengan sabdanya : “Ummatku yang paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu’adz bin Jabal.”
Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu’adz hampir sama dengan Umar bin Khattab. Ketika Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya : “Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?” Kitabullah”, ujar Mu’adz. “Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula. “Saya putus dengan Sunnah Rasul”, ujuar Mu’adz. “Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?” “Saya pergunakan fikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia”. Maka berseri-serilah wajah Rasulullah, sabdanya: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah . . . .”
Maka kecintaan Mu’adz terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tidak menutup pintu untuk mengikuti buah fikirannya, dan tidak menjadi penghalang bagi akalnya untuk memahami kebenaran-kebenaran dahsyat yang masih tersembunyi yang menunggu usaha orang yang akan menghadapi dan menyingkapnya.
Dan mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu’adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh Rasulullah sebagai “orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram”. Dan cerita-cerita sejarah melukiskan dirinya bagaimana adanya, yakni sebagai otak yang cermat dan jadi penyuluh serta dapat memutuskan persoalan dengan sebaik-baiknya .
Di bawah ini kita muat cerita tentang A’idzullah bin Abdillah yakni ketika pada suatu hari di awal pemerintahan Khalifah Umar, ia masuk mesjid bersama beberapa orang shahabat, katanya:
“Maka duduklah saya pada suatu majlis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih, masing-masing menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah SAW. Pada halaqah atau lingkaran itu ada seorang anak muda yang amat tampan . . . . hitam manis warna kulitnya, bersih, manis tutur katanya dan termuda usianya di antara mereka. Jika pada mereka terdapat keraguan tentang suatu hadits, mereka tanyakan kepada anak muda itu yang segera memberikan fatwanya, dan ia tak hendak berbicara kecuali bila diminta. Dan tatkala majlis itu berakhir, saya dekati anak muda itu dan saya tanyakan siapa namanya, ujarnya: Saya adalah Mu’adz bin Jabal.”
Shahar bin Hausyab tidak ketinggalan memberikan ulasan, katanya:
“Bila para shahabat berbicara sedang di antara mereka hadir Mu’adz bin Jabal, tentulah mereka akan sama meminta pendapatnya karena kewibawaannya . . . .!”
Dan Amirul Mu’minin Umar r.a. sendiri sering meminta pendapat dan buah fikirannya. Bahkan dalam salah satu peristiwa di mana ia memanfaatkan pendapat dan keahliannya dalam hukum, Umar pernah berkata: “Kalau tidaklah berkat Mu’adz bin Jabal, akan celakalah Umar!”
Dan ternyata Mu’adz memiliki otak yang terlatih baik dan logika yang menawan serta memuaskan lawan, yang mengalir dengan tenang dan cermat. Dan di mana saja kita jumpai namanya – di celah-celah riwayat dan sejarah, kita dapati ia sebagi yang selalu menjadi pusat lingkaran. Di mana ia duduk selalulah dilingkungi oleh manusia.
Ia seorang pendiam, tak hendak bicara kecuali atas permintaan hadirin. Dan jika mereka berbeda pendapat dalam suatu hal, mereka pulangkan kepada Mu’adz untuk memutuskannya. Maka jika ia telah buaka suara, adalah ia sebagimana dilukiskan oleh salah seorang yang mengenalnya: “Seolah-olah dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara . . . .”
Dan kedudukan yang tinggi di bidang pengetahuan ini serta penghormatan Kaum Muslimin kepadanya, baik selagi Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, dicapai Mu’adz sewaktu ia masih muda. Ia meninggal dunia di masa pemerintahan Umar, sedang usianya belum 33 tahun . . . .!
Mu’adz adalah seorang yang murah tangan, lapang hati dan tinggi budi. Tidak suatupun yang diminta kepadanya, kecuali akan diberinya secara berlimpah dan dengan hati yang ikhlas. Sungguh kemurahan Mu’adz telah menghabiskan semua hartanya.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Mu’adz masih berada di Yaman, yakni semenjak ia dikirim Nabi ke sana untuk membimbing Kaum Muslimin dan mengajari mereka tentang seluk-seluk Agama.
Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu’adz kembali ke Yaman, Umar tahu bahwa Mu’adz telah menjadi seorang yang kaya raya, maka diusulkan Umara kepada khalifah agar kekayaannya itu dibagi dua. Tanpa menunggu jawaban Abu Bakar, Umar segera pergi ke rumah Mu’adz dan mengemukakan masalah tersebut.
Mu’adz adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati. Dan seandainya sekarang ia telah menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak pernah diperolehnya secara dosa bahkan juga tak hendak menerima barang yang syubhat. Oleh sebab itu usul Umar ditolaknya dan alasan yang dikemukakannya dipatahkannya dengan alasan pula . . . . Umar berpaling meninggalkannya.
Pagi-pagi keesokan harinya Mu’adz pergi ke rumah Umar. Demi sampai di sana, Umar dirangkul dan dipeluknya, sementara air mata mengalir mendahului perkataannya, seraya berkata:
“Malam tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang, hai Umar dan menyelamatkan saya . . . . !”
Kemudian bersama-sama mereka datang kepad abu Bakar, dan Mu’adz meminta kepada khalifah untuk mengambil seperdua hartanya. “Tidak satupun yang akan saya ambil darimu”, ujar Abu Bakar. “Sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang baik”, kata Umar menghadapkan pembicaraannya kepada Mu’adz.
Andai diketahuinya bahwa Mu’adz memperoleh harta itu dari jalan yang tidak sah, maka tidak satu dirham pun Abu Bakar yang shaleh itu akan menyisakan baginya. Namun Umar tidak pula berbuat salah dengan melemparkan tuduhan atau menaruh dugaan yang bukan-bukan terhadap Mu’adz. Hanya saja masa itu adlah mas gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak ubah bagi burung yang terbang berputar-putar, ada yang berlari cepat, dan ada pula yang berlari lambat, namun semua berada dalam kafilah yang sama menuju kepada kebaikan.
Mu’adz pindah ke Syria, di mana ia tinggal bersama penduduk dan orang yang berkunjung ke sana sebagi guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu Ubaidah – amir atau gubernur militer di sana – serta shahabat karib Mu’adz meninggal dunia, ia diangkat oleh Amirul Mu’minin Umar sebagai penggantinya di Syria. Tetapi hanya beberapa bulan saja ia memegan jabatan itu, ia dipanggil Allah untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk dan menyerahkan diri.
Umar r.a. berkata:
“Sekiranya saya mengangkat Mu’adz sebagai pengganti, lalu ditanya oleh Allah kenapa saya mengangkatnya, maka akan saya jawab: Saya dengar Nabi-Mu bersabda: Bila ulama menghadap Allah Azza wa Jalla, pastilah Mu’adz akan berada di antara mereka . Mengangkat sebagai pengganti yang dimaksud Umar di sisi ialah penggantinya sebagi khalifah bagi seluruh Kaum Muslimin, bukan kepala sesuatu negeri atau wilayah.
Sebelum menghembuskan nafasnya yang akhir, Umar pernah ditanyai orang: “Bagaimana jika anda tetapkan pengganti anda?” artinya anda pilih sendiri orang yang akan menjadi khalifah itu, lalu kami bai’at dan menyetujuinya . . . .? Maka ujar Umar:
“Seandainya Mu’adz bin Jabal masih hidup, tentu saya angkat ia sebagi khalifah, dan kemudian bila saya menghadap Allah Azza wa Jalla dan ditanya tentang pengangkatannya: Siapa yang kamu angkat menjadi pemimpin bagi ummat manusia, maka akan saya jawab: Saya angkat Mu’adz bin Jabal setelah mendengar Nabi bersabda: Mu’adz bin Jabal adalah pemimpin golongan ulama di hari qiamat.”
Pada suatu hari Rasulullah SAW, bersabda: “Hai Mu’adz! Demi Allah saya sungguh sayang kepadamu. Maka jangan lupa setiap habis shalat mengucapkan: Ya Allah, bantulah daku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadat dengan ikhlas kepada-Mu.”
Tepat sekali: “Ya Allah, bantulah daku . . . !”
Rasulullah SAW selalu mendesak manusia untuk memahami makna yang agung ini yang maksudnya ialah bahwa tiada daya maupun upaya, dan tiada bantuan maupun pertolongan kecuali dengan pertolongan dan daya dari Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar .
Mu’adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya secara tepat . . . . Pada suatu pagi Rasulullah bertemu dengan Mu’adz, maka tanyanya:
· Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu’adz?
· Di pagi hari ini aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah, ujar Mu’adz
· Setiap kebenaran ada hakikatnya, ujar Nabi pula, maka apakah hakikat keimananmu?
· Ujar Mu’adz: Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi . . . . Dan tiada satu langkah pn yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi dengan langkah lainnya. Dan seolah-olah kesaksian setiap ummat jatuh berlutut, dipanggil melihat buku catatannya . . . . Dan seolah-olah kusaksikan penduduk surga menikmati kesenangan surga . . . . Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam neraka. Maka sabda Rasulullah SAW : Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang teguhlah jangan dilepaskan . . . . !
Benar dan tidak salah. Mu’adz telah menyerahkan seluruh jiwa raga dan nasibnya kepada Allah, hingga tidak suatu pun yang tampak olehnya hanyalah Dia! Tepat sekali gambaran yang diberikan Ibnu Mas’ud tentang kepribadiannya. katanya:
“Mu’adz adalah seorang hamba yang tunduk kepada Allah dan berpegang teguh kepada Agama-Nya. Dan kami menganggap Mu’adz serupa dengan Nabi Ibrahim a.s . . . .”
Mu’adz senantiasa menyeru manusia untuk mencapai ilmu dan berdzikir kepada Allah . . . . Diserunya mereka untuk mencari ilmu yang benar lagi bermanfaat, dan katanya:
“Waspadalah akan tergelincirnya orang yang berilmu! Dan kenalilah kebenaran itu dengan kebenaran pula, karena kebenaran itu mempunyai cahaya . . . .!”
Menurut Mu’adz, ibadat itu hendaklah dilakukan dengan cermat dan jangan berlebihan.
Pada suatu hari salah seorang Muslim meminta kepadanya agar diberi pelajaran.
- Apakah anda sedia mematuhinya bila saya ajarkan? tanya Mu’adz
- Sungguh, saya amat berharap akan mentaati anda! ujar orang itu. Maka kata Mu’adz kepadanya: “Shaum dan berbukalah . . . .!”
- Lakukanlah shalat dan tidurlah . . . .!!!
- Berusahalah mencari nafkah dan janganlah berbuat dosa . . . .
- Dan janganlah kamu mati kecuali dalam beragama Islam . . . .
- Serta jauhilah do’a dari orang yang teraniaya . . . .
Menurut Mu’adz, ilmu itu ialah mengenal dan beramal, katanya: “Pelajarilah segala ilmu yang kalian sukai, tetapi Allah tidak akan memberi kalian mafaat dengan ilmu itu sebelum kalian mengamalkannya lebih dulu . . . .!”
Baginya iman dan dzikir kepada Allah ialah selalu siap siaga demi kebesaran-Nya dan pengawasan yang tak putus-putus terhadap kegiatan jiwa. Berkata Al-Aswad bin Hilal:
“Kami berjalan bersama Mu’adz, maka katanya kepada kami; Marilah kita duduk sebentar meresapi iman . . . .!”
Mungkin sikap dan pendiriannya itu terdorang oleh sikap jiwa dan fikiran yang tiada mau diam dan bergejolak sesuai dengan pendiriannya yang pernah ia kemukakan kepada Rasulullah, bahwa tiada satu langkah pun yang dilangkahkannya kecuali timbul sangkaan bahwa ia tidak akan mengikutinya lagi dengan langkah berikutnya. Hal itu ialah karena tenggelamnya dalam mengingat-ingat Allah dan kesibukannya dalam menganalisa dan mengoreksi dirinya .
Sekarang tibalah ajalnya, Mu’adz dipanggil menghadap Allah . . . Dan dalam sakarat maut, muncullah dari bawah sadarnya hakikat segala yang bernyawa ini, dan seandainya ia dapat berbicara akan mengalirlah dari lisannya kata-kata yang dapat menyimpulkan urusan dan kehidupannya .
Dan pada saat-saat itu Mu’adz pun mengucapkan perkataan yang menyingkapkan dirinya sebagai seorang Mu’min besar. Sambil matanya menatap ke arah langit, Mu’adz munajat kepada Allah yang Maha Prngasih, katanya:
“Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu .
Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan . . . . tetapi hanyalah untuk menutup haus dikala panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan dan ketaatan .”
Lalu diulurkanlah tangannya seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya ke alam ghaib masih sempat ia mengatakan:
“Selamat datang wahai maut . Kekasih tiba di saat diperlukan .”
Dan nyawa Mu’adz pun melayanglah menghadap Allah . . . .Kita semua kepunyaan Allah . Dan kepada-Nya kita kembali .
No comments:
Post a Comment
Terima Kasih kerana sudi memberikan pendapat,nasihat dan kritikan, moga dirahmati-NYA